Pabrikan roda empat siap menggelontorkan mobil-mobil berbahan bakar alternatif. Syaratnya pemerintah harus serius menjembatani dengan insentif dan infrastruktur yang memadai.
SEGEPOK pekerjaan rumah masih harus disele saikan untuk membawa mobil berbahan bakar alternatif ke pasar otomotif Indonesia. Jika ti dak dapat memecahkan berbagai persoalan di dalamnya, gerbang masuk menuju era `mobil hijau' yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) masihlah jauh.
Butuh kesiapan dari pelaku industri dan pemerintah untuk mengaspalkan mobil-mobil dengan sumber energi alternatif yang mampu meminimalkan pemakaian bahan minyak plus mereduksi emisi gas buang. Pabrikan roda empat sendiri mengaku siap asalkan mendapat dukungan pemerintah.
“Saya rasa pabrikan di Indonesia siap karena pada dasarnya di berbagai negara lain sudah diperkenalkan teknologi mobil hijau. Yang kita butuhkan sebenarnya keseriusan pemerintah menjembatani dengan insentif dan infrastruktur memadai,“ tukas GM Marketing Strategy and Communication Division of PT Nissan Motor Indonesia Budi Nur Mukmin kepada Media Indonesia di Banyuwangi, Senin (13/10).
Budi menjelaskan, tanpa insentif, tak akan mungkin pabrikan mampu menjual `kendaraan hijau' semisal mobil hibrida dengan harga yang mampu digapai pasar.
Isu itu menjadi salah satu topik yang disinggung dalam Indonesia International Automotive Conference (IIAC) 2014 yang digelar di sela-sela Indonesia Internatio nal Motor Show (IIMS) 2014, 18-28 September lalu di Jakarta. Peran vital dan niat pemerintah untuk membawa mobil hijau juga turut dibahas dalam IIAC edisi kesembilan yang dihadiri berbagai ahli otomotif dan energi dari dalam serta luar negeri itu.
Manager of Asia Research Department of Fourin Research and Analysis Center Toru Nakata, saat menjadi pembicara di forum tersebut, mengatakan kebijakan pemerintah menjadi determinan utama untuk menghadirkan mobil hibrida ataupun mobil listrik.
“Penjualan mobil hibrida dan mobil listrik sangat bergantung pada kebijakan pajak pemerintah. Tanpanya, sangat sulit (teknologi ini) dijual,“ tegasnya. Ia berkaca pada kondisi di negara-negara tetangga di seputar Asia Tenggara (ASEAN) seperti Thailand dan Malaysia pascapemberian insentif pajak dari pemerintah.
Berdasarkan data Fourin, penjualan mobil hibrida dan mobil elektrik di ASEAN berkisar 20-30 ribu unit sejak 2011 dengan Thailand dan Malaysia sebagai kontributor utama.Total `kue penjualan' kedua jenis mobil itu sendiri masih berkutat di 0,6-0,9% dari total transaksi roda empat di ASEAN.
Pada 2013 lalu, 10% dari penjualan mobil di Malaysia disumbangkan mobil diesel. Mobil hibrida berbobot 2% di antaranya. Pencapaian penjualan di negeri jiran itu, ditilik dari data Asosiasi Otomotif Malaysia (MAA) ialah 655.793 unit.
Thailand malah lebih trengginas soal mobil-mobil berbahan bakar alternatif jika berlandaskan hasil riset Fourin.Mobil hibrida dan listrik, liquefied natural gas (LNG), hingga campuran antara bensin dan etanol secara akumulatif menggapai 41% dari total pasar tahun lalu yang sebanyak 1.330.672 unit.
Mobil-mobil `generasi hijau' itu mendampingi mobil diesel yang perkasa meraup 47% pasar `Negeri Gajah Putih'. Mobil bensin hanya 12%. Mobil gas diprioritaskan Lantas, yang mana di antara itu semua yang paling mungkin untuk didatangkan saat insentif sudah tersedia? Budi menjawab mobil hibrida.
“Kalau di Thailand, bea masuk untuk hibrida 0%, pajak barang mewah (PPnBM) juga 0%. Itu yang membuat harganya jadi kompetitif. Malaysia sempat memberikan bea masuk 0% untuk kedua jenis pajak itu,“ lanjut Budi yang selama lima setengah tahun terakhir bekerja di Nissan Jepang dan Thailand itu.
Ia mengharap insentif dari pemerintah mencakup bea masuk dan PPnBM 0%, sama dengan Thailand. “Atau sejelekjeleknya ialah potongan 75% untuk bea masuk. Tanpa itu, harga melangit,“ ucapnya.
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi, saat memberikan keynote speech di IIAC 2014, mengaku pascapeneluran mobil murah ramah lingkungan, pihaknya akan mengalihkan mobil-mobil bensin ke gas terlebih dahulu. Peralihan itu dimulai dari angkutan-angkutan umum.
“Kami juga sedang menuju ke pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang lebih banyak lagi,“ ujarnya. Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies (CPEES) Kurtubi di forum yang sama mengatakan wacana SPBG telah 30 tahun beredar, tapi hingga kini jumlahnya masih tak lebih dari 20 gerai.
Investor di luar PT Perusahaan Gas Negara (PG Investor di luar PT Perusahaan Gas Negara (PGN), sambung Kurtubi, tidak berminat menanamkan modal di SPBG karena kebijakan harga bahan bakar gas (BBG) yang tidak menguntungkan.
Ia mencontohkan harga BBG bagi bus Trans-Jakarta Rp3.100/lsp (liter setara premium). “Jika mengikuti harga gas natural internasional, harusnya setidaknya Rp7.000/lsp.“ Ya, jika melihat fakta-fakta yang ada sekarang, mimpi memasuki era mobil hijau mungkin masih jauh. Namun, mimpi tetap harus digapai dan pemerintah mesti memulai menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah itu dari sekarang. (S-2) Media Indonesia, 16/10/2014, halaman 22-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar