Oiii japuik lah rasaki oi (Jemputlah Rezeki yang kami bawa). Oi Inyiak Rajinah dan Datuak Rajo Gagau/ Penghuni Rimba.
Demikian sepenggal seruan Syafrizal Sutan Mangkuto, seorang pawing yang didaulat berkomunikasi dengan penghuni belantara Jorong Padang Langgo, Nagari Tanjung Barulak, sebelum waktu salat Jumat beberapa waktu lalu di bulan Maulid.
Dengan selimut tebal siang itu Syafrizal berseru di atas sebuah pohon di bukit Aur Diri. Sebelum berseru sesajen di delapan mangkuk diletakkan di ranting kayu. Di pucuk pohon ditancapkan kain beraksarakan bacaan doa. Berkali-kali Syafrizal berseru. Suaranya menggelar bergema di lembah-lembah yang diolah menjadi ladang. Lontaran suara basa-basi yang mengagendakan silaturahim berlangsung sekitar 5 menit, sebelum diakhiri dengan doa yang dipanjatkan ke hadirat Allah SWT.
Inyiak Rajinah dan Datuak Rajo Gagau yang dipercaya sebagai penghuni rimba beserta klan mereka diyakini masyarakat setempat sebagai makhluk lain ciptaan Allah SWT yang menghuni lekuk-lekuk bukit yang menjadi tumpuan para peladang.
“Ritual Sumarak Padang dilakukan karena di atas bukit ini ada makhluk halus, makhluk gaib. Kita percaya pada yang gaib. Mereka kadang berypa dengan bentuk benda, kadang manusia tapi kecil. Jarang menampakkan diri. Dia penguasa rimba, memelihara orang ke rimba beserta ternaknya,” jelas Syafrizal.
Dibukit Aur Duri tersebut, sebelum berkomunikasi dengan penghuni setempat, Syafrizal bersama beberapa tetua lainnya menyusun dan meletakkan altar. Ada delapan lime (daun dibentuk menyerupai makhluk) yang menjadi wadah untuk tujuh jenis sesajen yakni darah, batih, samba gulai kambing, rokok, lamang, telur dan nasi. Sebelum ditempatkan di pepohonan sesajen tersebut diasapi terlebih dahulu dengan kemenyan.
Anwar Sutan Kayo salah seorang tetua mengatakan isi altar atau sesajen tersebut diberikan kepada penghuni setempat, yakni Inyiak Rajinah dan Datuk Rajo Gagau, “Tak lama setelah kita letakkan, makhluk itu akan memakannya. Namun, hanya in ti sarinya. Mau bukti ? Bisa kita lihat sekitar sejam setelah diletakkan,” terang Anwar.
Selepas meletakkan sesajen di atas pohon, lalu berseru kepada penghuni alam yang sering juga dikatakan perbukitan Pubanan, para tetua secepatnya meninggalkan tempat itu, lalu beranjak menuju Bukit Kubang Gantin, padan tempat makan bersama serta doa disenandunkan sehabis salat Jumat.
Ritual Tahunan
Tiga jam menjelang salat JUmat tiba, perbukitan di Jorong Padang Langgo, Nagari Tanjuang Barulak masih berselimut kabut. Matahari pun tidak diberi celah memancarkan cahayanya. Di tengah awan lembap yang tak kunjung luruh itu, beberapa perempuan dan laki-laki menapaki perbukitan dengan kemiringan setinggi 200-600 meter tersebut.
Di atas kepala mereka, bertopang beban berisi bahan yang diperlukan untuk memasak dan peralatan untuk itu. Untuk beban yang lebih berat seperti air dan kancah, tukang ojek menjadi tumpuan.
Setahun terakhir, bukit-bukit yang memiliki beragam nama itu bisa diakses dengan motor. Namun, tidak semua orang berani mengendarai motor karena mesti menghadang ruas jalan setapak, menanjak yang begitu terjal, tiba-tiba menurun dan jurang menganga di kanan dan kiri.
Sebagian penduduk Padang Langgo berduyun-duyun menuju bukit Gantiang Kubang. Mereka yang datang lebih awal mendapatkan mandate memasak gulai kambing sebagai ihwal dari ritual yang akan berlangsung habis salat JUmat.
Jorong Padang Langgo termasuk teritorium Nagari Tanjung Barulak, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. “Pas Doa Sumarak Padang, orang kampung berhenti bekerja”, imbuh Anwar. Tidak ada yang tahu persis awal mulanya ritual bernama Doa Sumarak Padang yang digelar setiap tahun pada bulan Rabiul Awal atau bulan Maulid. Akan tetapi para orang tua yang lahir di era 1950-an mengaku sudah mengenal ritual tahunan tersebut.
Bersahabat.
Doa Sumarak Padang ialah cara masyarakat setempat, terutama peladang, berkomunikasi dan memberik sesajen kepada penghuni setempat atau makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Adak redo yang hidup di relung ingatan masyarakat setempat. Jika tidak menggelar Doa Sumarak Padang setiap tahun, warga percaya bakal ada petaka. Misalnya ternak sapi atau kerbau yang hilang, peladang atau pencari kayu bakar yang hilang, juga hasil tanaman yang tidak menggembirakan.
Tokoh Keagamaan setempat, Abdurrahman mengatakan Doa Sumarak Padang berarti berdoa ditengah padang. Warga rutin menggelar ritual itu karena kata dia, nenek moyang mengarisbawahi di alam ini, makhluk Allah itu banyak. “Maka di bulan Rabiul Awal ini, kita bermohon kepada ALLAH agar makhluk di tengah padang itu bersahabat dengan manusia, termasuk ternak dan tanam-tanaman,” ujarnya.
Terkait altar menurutnya sesajen itu sebagai tanda masyarakat memberikan suatu oleh-oleh kepada makhluk ALLAH di tengah padang.
Tahapannya, jelas Abdurrahman selain meletakkan sesajen dan berkomunikasi dengan makhluk gaib tersebut, masyarakat secara bersama-sama memanjatkan doa memohon keselamatan dari awal sampai akhir yang berisi riwayat kelahiran Nasbi. Ritual demikian dikenal dengan marhaban dan ratik tolak bala.
Doa itu antara lain doa selamat sekalian untuk roh-roh orang terdahulu, doa tolak bala yang artinya menolak bencana, dan diakhiri doa selamat dunia akhirat. “Mudah-mudahan dengan marhaban kita memberi kata penyelamatan (marhaban, selamat datang) kepada arwah rasul, bukan yang lain. Di laut juga ada. Kita juga bersenandung kepada Allah,” ujarnya.
Sekitar 300 warga naik ke atas bukit dalam ritual ini. Sebagian di antaranya, yang memiliki ladang di sekitar bukit tersebut, membawa setampuk daun sicerek. Daun sicerek yang diberkati doa dalam ritual itu dipercaya bisa menjadi pelindung bagi ternak dan tanaman di bukit. Di samping itu, daun juga menjadi penjaga rumah hingga layu dan luruh. (M-1) - Media Indonesia, 01-02-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar