04 April 2020

Semua Bermula di Lepau

Ruang debat di lepau bisa dikatakan sebagai perwujudan bertutur yang tidak teratur yang dibungkus metafora. Ini akan memaksa otak untuk selalu berpikir. KEBIASAAN duduk di lepau alias warung, atau lapau sesuai dengan bahasa setempat, sering kali dicap buruk. Seorang petani di kampung-kampung Minang kadang menghabiskan sepertiga hari untuk duduk di lepau.

Minum pagi di lepau, saat matahari menjelang segaris ubun-ubun pun mereka ngopi dulu di lepau, lalu pada sore hari, sehabis ke sawah, mereka pun singgah di lepau, dan malam sehabis magrib, sempat pula mereka langsung duduk di lepau.


“Di lepau, hampir semua bidang, mulai dari sosial, agama, politik, ekonomi menjadi tema-tema yang dipecahkan dalam frame berpikir yang berbeda-beda dalam konteks intelektualitas,“ ujar tokoh masyarakat Padang Sago, Padang Pariaman, Bustami Tanjung.

Pola-pola demikian terjadi hampir di seantero Minang, mulai dari darek (pedalaman Minangkabau) hingga pesisir seperti Pariaman. Namun, lepau bukan sebuah ruang untuk bermalas-malasan. Di sini, misalnya petani tadi, bukan hanya tahu tentang cangkul, tanam benih, dan bajak, melainkan juga topiktopik hangat yang terlontar di lepau saat itu.

Ruang debat di lepau bisa dikatakan sebagai perwujudan bertutur yang tidak teratur yang dibungkus metafora. Dengan ini, dahi akan berkerut memaksa otak berpikir untuk menumpahkan komentar atau malah sebaliknya, menjadi simpanan di kepala untuk terus dipikirkan.

Peneliti kias peribahasa Minang, Oktavianus, mengatakan lepau merupakan arena latihan bertutur dan debat yang sangat bagus. Di sana, ruang mengomentari dan bicara dibuka seluas-luasnya. Apalagi, kata-kata metafora yang dilepaskan menjadi sebuah telaah yang begitu mendalam secara makna.
Harkat dan martabat Berdasarkan penelitiannya, dari dua pola bertutur di muka bumi, yakni bertutur langsung dan bertutur tidak langsung, Oktavianus menilai sekitar 70%-80% etnik Minang memakai bertutur tidak langsung. Bertutur tidak langsung termanifestasi dalam bentuk kias, silat lidah, yakni yang dimaksud A, tetapi yang disampaikan ialah B. Ini, menurutnya, mengasah kedalaman dan ketajaman berpikir, pandai ngomong, dan pintar berkelit. “Sesuatu tidak disampaikan secara langsung, tetapi dimetaforakan.

Maka harus berpikir keras untuk memahaminya,“ kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas di Padang, Sumatra Barat ini.

Di lepau, ilmu dan wawasan saling tambal sulam. Setiap personel yang duduk, tak terkecuali terkadang juga pejabat, memiliki pengetahuan yang berbeda dan juga terbatas. Apalagi topiknya tidak ditentukan, justru semuanya diterima untuk kemudian diperbincangkan.

Penelitian Oktavianus juga menemukan, bertutur tidak langsung masih hidup di tengah masyarakat komunal, hidup dalam keluarga inti di nagari-nagari Minangkabau.

Sementara itu, pemuda yang tinggal di kota sudah menerapkan bertutur langsung. Akan tetapi, bahasa kias diganti dengan bahasa modern dan juga menggantinya dalam bentuk bahasa prokem dan `alay'. “Secara filosofi, orang Minang itu meninggikan harkat martabat manusia dalam bertutur,“ tukasnya.
Mulai terkikis Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal, yang dikenal juga dengan nama Mak Katik, menilai `silat lidah' merupakan uji kehebatan berkata yang argumentasinya bisa saja tidak benar. Namun, `silat kata' tidak pernah lepas persoalannya dalam fokus Minangkabau.

“Di kedai (lepau), awal mula suatu hal dibicarakan. Jika tidak selesai, nanti diselesaikan di surau. Awal mula persoalan di surau, bisa ketemu di kedai. Saya dapat menjelaskan secara fasih adat Minangkabau seluruhnya di surau,“ imbuhnya.

Hasil penelitian yang dikemukakan Oktavianus yang menyebut bahwa bertutur tidak langsung mulai terkikis menjadi kekhawatiran juga bagi Mak Katik.

Ia melihat sangat penting bahasa Minang diajarkan ke anak sedari kecil. Sebab bahasa Minang penuh metafora dan nilai-nilai yang penting untuk menjadi pelekat dalam badan dan jiwa saat anak bertumbuh. Tapi apakah perlu surau arti fisik atau sesungguhnya? Mak Katik mengatakan bukan suraunya secara fisik yang dipertahankan, melainkan model pendidikannya yang dipertahankan.

Andai bertutur teratur ataupun tidak teratur tetap dibiasakan dalam bentuk metafora atau kias, maka Minang tentunya tetap meneruskan tradisi untuk selalu menelurkan diplomat handal dan saudagar yang pintar dalam mengolah kata-kata menjadi pangkal laba. (YH/M-1/MEDIA INDONESIA, 15/03/2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar