19 April 2020

Kasmir Pembaharu Di Ranah Minang

Hidup mestinya saling menjaga antar manusia juga dengan alam. Kick Andy menemukan inspirasi indahnya tentang harmoni negeri ini di tanah Sumatra Barat. Negeri Minang punya cerita tentang Kasmir Gindo Sutan, 59, lahir di Padang Laweh Malalo, Tanah Datar, pada 5 April 1954.
Laki-laki buruh tani itu sempat merantau dan tinggal di Jakarta. Namun, kemudian bersama istri dan empat anaknya memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, Padang Laweh Malalo.

Pada 2002, Kasmir dipilih menjadi Ketua Kelompok Tan Fayo. Fayo dalam bahasa Minang berarti bersatulah. Kelompok itu mewadahi kebutuhan petani akan pupuk subsidi. Kegiatan lainnya, pada 2004, menanam di lahan kritis, yang diprakarsai melalui program pemerintah. Pada 2007 merek mengadopsi program tanam padai sebatang atau Salibu. "Salibu artinya sekali tanam bisa tiga atau empat kali panen," tutur Kasmir.

07 April 2020

Membangun Harga Diri Umat Inspirasi dan Keteladanan Gubernur Harun Zain

Setiap daerah di nusantara me miliki gubernur legendaris dan pejuang paripurna yang dikenang jasa-jasanya karena bernilai luar biasa. DKI Jakarta memiliki Gubernur Ali Sadikin. Jawa Timur memiliki Gubernur Mohammad Noor. Adapun Sumatera Barat yang melahirkan sekian banyak pejuang dan tokoh nasional di awal kemerdekaan memiliki Gubernur Harun Zain. Nama lengkapnya Prof. Drs. H. Sutan Harun Al-Rasyid Zain. Ia bukan sekadar gubernur, tetapi pemimpin inspiratif dan pembangkit harga diri umat Islam.

Pada awal menjabat, Harun Zain mengunjungi pemimpin Islam dan pejuang bangsa Mohammad Natsir di Jakarta. Pak Natsir memberi nasihat kepada Harun Zain, “Pandai-pandailah merangkuh dayung. “ Harun Zain melakukan revitalisasi peran ninik mamak dan alim ulama sebagai pemimpin informal yang sangat besar pengaruhnya di masyarakat.

04 April 2020

Semua Bermula di Lepau

Ruang debat di lepau bisa dikatakan sebagai perwujudan bertutur yang tidak teratur yang dibungkus metafora. Ini akan memaksa otak untuk selalu berpikir. KEBIASAAN duduk di lepau alias warung, atau lapau sesuai dengan bahasa setempat, sering kali dicap buruk. Seorang petani di kampung-kampung Minang kadang menghabiskan sepertiga hari untuk duduk di lepau.

Minum pagi di lepau, saat matahari menjelang segaris ubun-ubun pun mereka ngopi dulu di lepau, lalu pada sore hari, sehabis ke sawah, mereka pun singgah di lepau, dan malam sehabis magrib, sempat pula mereka langsung duduk di lepau.