12 Januari 2014

Ratapan di Pantai Barat Sumatra

kesenian tradisional minangkabau
Sumber : Media Indonesia, 15 Desember 2013
Rental Mobil Padang - Dua senja memecah kebuntuan di malam yang semakin lembap itu. Penonton yang memenuhi panggung (gelanggang) tertutup Ladang Nan Jombang dibawa ke masa lalu, percintaan sepasang remasa dalam kemelut perang lebih besar di Ranah Minang, antara kaum adat dan kaum agama.

Pementasan Ranah Teater ini menyajikan diaroam kisah sepasang remaja yang dilanda asmara tapi terkepung dalam kemelut Perang Paderi, perselisihan kaum adat dan kaum agama berujung pada intervensi Belanda di periode 1821 - 1837.

Menurut Sutradara S Metron M, Dua Senja adalah lakon yang memberi proses pemaknaan dari gabungan narasi besar pesakitan panjang sejarah Minangkabau dalam Perang Paderi.

Dialog-dialog romantis pun tak tanggung tanggung dihadirkan S Metron M. Tragedi perselisihan kaum adat dan agama, sebagaimana kemelut Perang Paderi, selalu menarik untuk dibicarakan. Beberapa pemain teater di Sumatra Barat juga mengambil banyak hal dalam tragedi tersebut.

Ery Mefri Pemilik Ladang Tari Nan Jombang mengatakan ilau artinya ratapan. "Seni Tradisi kebanyakan berisi ratapan. Tapi belum tentu juga di daerah lain seperti itu. Yang pasti adalah di Ranah Minang. Dalam acara ini, kami mengundang kelompok seni tradisi yang ada di Pantai Barat," ujarnya.

Ilau Pantai Barat kembali menyigih ancaman besar pantai barat Sumatra, yakni gempa dan tsunami. Dengan tema itu, kita diingatkan akan peristiwa 30 September 2009 lalu serta ketakutan dan trauma berkepanjangan.

Selain Ranah Teater, Ilau Pantai Barat Sumatra juga menampilkan 7 kesenian lainnya yang berasal dari Sumatra Barat, 1 dari Bengkulu dan 1 dari Aceh.
Hari pertama dibuka dengan penampilan Gadang Tasa dari Grup Indo Jati Padang. Tari tan Adok/ Tan Bentan Saniang Baka, Solok. Kemudian di hari yang sama ada penampilan Grup Sarik Sati Padang, dan Randai dari grup Buluah Sonsang Padang.

Membawakan Pulang Ka Bako, Grup Buluah Sonsang menampilkan gerakan yang menghentak, serempak dan dengan kecepatan tinggi. "Itu modifikasi gerak, dan tidak menghilangkan basic," ujar pemimpin Buluah Sonsang Rizal Tanjung.

Pulang Ka Bako bercerita tentang anak laki-laki yang oleh orangtuanya akan dikawinkan dengan keluarga dekatnya. Padahal, dalam perspektif anak muda hari ini, jodoh tidak boleh digarikan atau dituntun, tetapi melalui pencarian.

Tiga hari Ilau Pantai Barat Sumatra ini, ratapan begitu kentara, mengalun bersama seni-seni yang tampil. Singo Barantai dengan menampilkan Tari Andok atau Tari Bentan, menceritakan pertarungan Cindua Mato memperebutkan Puti Bungsu yang ditahan Imbang Jayo.

Lalu nyanyian sunyi dan mendalam dari lirik-lirik puisi oleh Pentas Sakral. Dinakhodai oleh Nina Rianti, Pentas Sakral menampilkan tema Nyanyian Tanah Ibu.

Grup koreografi besutan Eri Mefri tersebut percaya merawat dan menggerakkan akan menumbuhkan generasi baru dan akan tetap mengalir hingga tanpa batas waktu. "Seni tradisi, karena pemainnya banyak tua, karena tidak ada ruan enggak jalan regenerasi. Maka salah satunya kita mengadakan Festival Nan Jombang Tanggal 3," tandasnya.

Menariknya, antara tradisi dan agama - surau, di Minangkabau bukanlah versus melainkan satu kesatuan yang menjadikan Minangkabau sebagai etnik yang egaliter yang dinamis.
Terkadang, tradisi semacam randai, mengambil tempat latihan di lama surau. Adat dan agama di Minang bisa bersatu. Dulunya, anak mengaji turun di surau, lalu menuju ke gelanggan, belajar silat dan Randai untuk pertahanan diri di dunia.

Kegiatan Ilau Pantai Barat Sumatra terselenggara berkat kerja sama Nan Jombang Dance Company, Teater Ranah dan Balai Pelestarian Nilai Budaya.


Sumber Media Cetak : Media Indonesia, 15 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar